Suasana
politik tahun ini kian panas akibat adanya hoaks yang bertebaran di media
sosial. Setiap pendukung pasangan calon saling menebar kritik keras bahkan tak
pelak menyebarkan berita yang tak pantas. Ajang pesta demokrasi yang seharusnya
meriah kini berubah menjadi gerah akibat berita yang simpang siur dari segala
arah. Seperti produk jurnalistik “gadungan” dalam bentuk tabloid, selebaran,
atau majalah yang baru-baru ini santer terdengar. Tentu kejadian menimbulkan efek gaduh di tengah masyarakat karena
disamping meruntuhkan demokrasi juga mampu mengganggu kestabilitasan pemilu
yang berlangsung. Konten-konten hoaks tersebut tumbuh subur di media sosial. Hal ini terlihat
dari setidaknya terdapat 62 konten hoaks terkait Pemilu 2019 yang
teridentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) selama Agustus-Desember 2018 (https://news.detik.com/berita/d-4368351/62-hoax-pemilu-2019-teridentifikasi-kominfo-ini-daftarnya).
Hal yang demikian menjadi momok menakutkan dan terbilang cerdas
karena pangsa yang di tuju adalah masyarakat media. Seperti yang kita ketahui
bahwasanya tidak semua pengguna sosial media mampu menerima informasi dengan
bijak. Hal ini dikarenkanan pemahaman yang minim tentang media sehingga
mengakibatkan arus informasi sulit untuk
di saring. Oleh karena itu, perlu ada edukasi
berupa Literasi Media, agar bijak menggunakan sosial media dan terhindar dari
hal-hal yang tidak diinginkan seperti mempercayai hoaks. Adapun peran literasi
media dalam menanggulangi hoaks di tahun politik diantara nya:
Pertama, literasi
media sebagai upaya mendidik pengguna sosial media, terkadang
pendidikan tidak hanya di dapatkan melalui bangku sekolah ataupun kuliah yang
dalam hal ini tercantum sebagai pendidikan formal. Akan tetapi jauh di balik
itu, kini media pembelajaran dapat ditemui dengan mudah tidak terkecuali di
media sosial. Dengan berkembangnya teknologi komunkasi dan informasi yang kian
modern, tentunya inovasi-inovasi juga harus mengikuti perkembangan tersebut
secara beriringan. Dalam hal ini kita bisa mengembangkan pendidikan moral berbasis
media sosial dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Mengapa hal
ini perlu dilakukan? Karena esensi dari nilai tersebut mampu mengurangi setiap
tindakan amoral atau kejahatan via media masa/online. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, kita sebagai
manusia yang bertuhan senantiasa selalu bertidak sesuai dengan koridor aturan
yang di amantkan tuhan kepada diri pribadi masing-masing. Dalam media sosial,
kita bisa mengamalkan nilai tersebut agar terhindar dari tidakan yang tidak
baik (amoral) seperti menyebar berita bohong/ fitnah. Kedua, Kemanusiaan yag Adil dan Beradab, seperti
yang kita ketahui bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia, ada banyak teman
dan orang-orang sekitar yang harus kita hormati keberadaannya, oleh karena itu,
ketika di media sosial, bijaklah menggunakan jari-jarimu, jangan pernah terlalu
memaksakan kehendak, karena setiap orang memiliki persepsi dan pandangan
masing-masing terhadap sesuatu. Ketiga, Persatuan Indonesia, bersatu adalah wujud
perdamaian abadi di dunia ini, tidak satupun orang yang menginginkan perselisihan
bahkan peperangan, persatuan adalah tombak untuk mencapai kemenangan, dalam
sosial media hendaknya kita jangan menyebarkan huru hara yang tidak penting
yang nantinya akan berimplikasi pada keresahan di tengah masyarakat, ada
baiknya kita menanamkan sikap toleransi dan menyampaikan pesan kebaikan di
media sosial, seperti meperlihatkan bahwa perbedaan itu adalah suatu anugrah
dan merupakan keajaiban yang indah. Dengan bersatu, kita bisa maju dan menjadi
masyarakat yang tentram. Keempat,
Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan, bijaksana merupakan suatu keharusan tersendiri yang harus
dimiliki seseorang, karena sejatinya berfikir bijak mampu membawa seseorang
kepada kedewasaan dalam bertindak. Orang yang bijak senantiasa berfikir
terlebih dahulu sebelum bertindak, hal ini dikarenakan tindakan yang
terburu-buru malah akan menjadi boomerang bagi diri sendiri dan juga orang
lain. Begitupun di media sosial, sebelum memposting atau membagikan sesuatu,
hendaknya kita bersikap tabayyun (cross chek) terlebih dahulu sebelum
menyebarluaskan, ini dilakukan semata-mata untuk terhindar dari fitnah yang
akan membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Dan yang terakhir, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, adil disini berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya,
dalam hal bersosial media, kita seharusnya paham, bahwa apa yang kita sebarkan
tersebut harus bernilai manfaat bagi pembaca. Karena dengan itu kita bisa
meraih keseimbangan dalam segala lini kehidupan baik di dunia maya maupun dunia
nyata.
Kedua, literasi
media sebagai kontrol sosial online, seperti yang kita ketahui
bahwasannya tujuan dari literasi media ini adalah untuk memberikan kesadaran
kritis terhadap khalayak agar jangan mudah terpancing dengan ribuan informasi
yang belum pasti kebenarannya. Seperti Pemilu tahun ini yang sarat akan berita
hoaks, banyak media yang menampilkan konten berlebihan akibat fanatisme
terhadap pasangan calon, bahkan ada juga media yang hanya sekedar dibayar lalu
menyebarkan berita hoaks dimana-mana. Hal ini tidak hanya berdampak di kalangan
pengguna sosial media, akan tetaapi terancam memberikan desas desus yang
akhirnya membuat masyarakat resah, yang ada hanyalah debat sana-sini,
perselisihan yang tidak mengenal ujung, dan bahkan yang paling parah dapat
mengancam keutuhan NKRI. Miris bukan? Nah, oleh karena itu, disinilah peran
literasi media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal mengubah pola
pikir pengguna media sosial. Pertama, sebagai warga negara yang baik tentu kita
harus berperan aktif memberikan aksi nyata untuk menjaga keutuhan demokrasi dan
kredibilitas pemilu, salah satunya
dengan cara melaporkan segala bentuk tidakan kecurangan seperti black campign
(kampanye hitam), ujaran kebencian, fitnah, dan hoaks, yang hal tersebut dapat
kita laporkan kepada pihak-pihak terkait seperti Polisi dan Bawaslu (Badan
Pengawas Pemilu). Selanjutnya kita juga bisa memanfaatkan media sosial kita
untuk kampanye yang sehat yakni menyampaikan kebaikan atau trek record pasangan
calon yang diusung tanpa menjelekan pasangan calon lainnya. Jika hal ini
dilakukan maka tidak akan ada lagi perseteruan sengit diantara pendukung calon,
bahkan pemilu akan melahirkan sejarah baru dengan aktifitas yang berjalan damai
tanpa perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar